Goresan Fakta dari "Daerah Buangan" Mentawai
Oleh : Firman Sikumbang
Pelan namun pasti tinta fakta telah menorehkan bahwa Polres Mentawai yang berada di daerah kepulauan, bukan lagi sebagai tempat "pembuangan" untuk para polisi "bandel". Realita itu kini telah berubah rupa, sebab beratnya medan di tengah keterbatasan sarana dan prasarana, hanya polisi-polisi bermental baja dan memiliki komitmen yang tinggilah mampu bertahan mengabdi di Bumi Sikerai ini.
Belum lagi ketika mulai membilang “imbalan” atau gaji yang diterima polisi bertugas di medan penuh tantangan ini. Hampir dipastikan—bila tak ada secuil rasa pengabdian—akan memunculkan rasa iri, karena gaji yang mereka terima jumlahnya sama.
Sementara dari penghasilan yang didapat—maaf yang bagi sebagian orang nilainya tak seberapa itu—para polisi yang tugas di Mentawai ini harus berpandai-pandai. Karena biaya hidup di Kepulauan Mentawai ini cukup tinggi.
Mungkin tak ada salahnya bila kita mengali-ngali, dengan penghasilan yang sama, polisi yang tugas di Mentawai harus merogoh kocek Rp25.000 untuk sebungkus nasi plus sebotol air meneral ukuran sedang.
Ini belum termasuk biaya pembeli BMM untuk alat transportasi.
Ini belum termasuk perkara menahan kerinduan terhadap anak dan istri yang harus mereka tinggalkan di “tanah tepi”.
Hampir 80 persen personel polisi yang tugas di Mentawai ini harus rela hidup terpisah dengan anak dan istri mereka karena daerah itu memang dikenal memiliki gelombang laut cukup tinggi serta ditambah dengan segala keterbatasan yang ada.
Keadaan pun akan menjadi “mumet” manakala mereka ingin menumpahkan rasa kerinduan terhadap keluarga, karena mereka harus merogoh kocek yang dalam untuk biaya transportasi untuk menuju “tanah tepi”. Sebab untuk biaya transportasi saja mereka harus mengeluarkan biaya Rp500 ribu untuk pulang dan pergi.
Inilah realita yang dihadapi para personil polisi yang dinas di Kepulauan Mentawai. Jadi intinya, bila Kepulauan Mentawai ini hanyalah sekedar tempat buangan polisi bandel, maka tak akan pernah disua “wujud pengabdian” para personel polisi di tengah kondisi serba sulit tersebut.
Sebagai pengamat kepolisian, saya merasa ada perobahan drastis saat Polres Mentawai dipimpin Kapolres AKBP Dody Prawiranegara, SH, MH, S.IK dan Waka Polres Kompol Maman Rosadi SH. Mereka berdua sepertinya mampu menanamkan keyakinannya pada personelnya bahwa hanya polisi-polisi bernyali dan memiliki komitmen tinggi saja yang mampu bertahan di daerah yang terbentang lautan yang luas, ombak yang ganas dan ekstrim, cuaca yang tidak bisa diprediksi, wilayah daratan yang sangat sulit dijangkau itu.
Dody Prawiranegara maupun Maman Rosadi tak hanya sekedar memberi motivasi, bahkan mereka berdua juga menjalani hidup di Mentawai tanpa ditemani anak dan istri.
Bahkan Dodi dan Maman kerap dijumpai langsung terjun ke lapangan untuk berbagi bantuan di tengah virus corona atau Covid-19 tengah melanda berbagai belahan di dunia. Padahal medan yang mereka lalui penuh tantangan dan hanya jalan tanah.
Belum lagi saat musibah banjir datang “menyapa”, kedua periwira menengah ini akan mudah dijumpai di lokasi bencana untuk memberi pertolongan.
Intinya, Dody dan Maman tak hanya memberi instruksi, raga dan jiwa mereka juga sepontan tiba di kepulauan Mentawai yang terdiri atas empat pulau utama yakni Pulau Pagai Utara, Pagai Selatan, Sipora Siberut setiap daerah itu dilanda bencana.
“Biarlah kami menikmati pengabdian ini di sini dengan motto, “Buat Tanpa Tapi
Lakukan Tanpa Nanti,” inilah kiranya motto yang ditanamkan Dody Prawiranegara dan Maman Rosadi pada personelnya, sehingga Polres Mentawai layak disebut sebagai tempat bagi polisi-polisi bernyali dan berdedikasi tinggi.
0 Comments