GAIRAH WARGA KEMBALI LAGI BERKAT INOVASI BRIPKA ADE NOFRIANTO
Kini, berkat inovasi Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban masyarakat (Bhabinkamtibmas) Bripka Ade Nofrianto (38 tahun), masyarakat desa yang kerap mengalami gangguan jaringan karena lokasi yang jauh terpencil di pelosok desa tak lagi menjadi kendala.
Melalui terobosan Bripka Ade Nofrianto itu, kini hampir 100 kepala keluarga (KK) di Desa Sioban memanfaatkan hasil karya ciptaannya berupa antena penangkap sinyal 4G. “Penggunaan HP saat ini begitu massif, hampir di setiap tempat dan sudut daerah orang menggunakannya. Seolah-olah HP sudah menjadi barang wajib bagi manusia modern saat ini.
Seseorang akan disebut ketinggalan jaman dan jadul jika tidak mempunyai dan menggunakan HP. Namun terkadang orang sering dibuat jengkel karena sinyal HP lemah bahkan tidak ada sinyal sama sekal.
Untuk itu, saya mencoba untuk berinovasi, untuk memberikan solusi terhadap permasalahan tersebut,” kata Bripka Ade Nofrianto pada Pionir, Selasa sore, 10 November 2020.
Namun kata Ade Nofrianto menambahkan, ketika orang sedang asik menggunakan HP untuk kegiatan menelepon seseorang, menonton video online di youtube, mengirim sms, menonton tv online, bermain game online, chatting dan lain-lain, bisa saja koneksinya terputus.
Pastinya hal itu membuat anda kecewa. Sebab, sedang seru-serunya beraktifitas online, tiba-tiba harus terhenti. “Biasanya, yang menyebabkan sebuah koneksi terputus adalah sinyal yang lemah atau sering diistilahkan lemot. Selama ini cara yang paling mudah dilakukan masyarakat adalah dengan cara mencari sinyal ke luar ruangan, agar mendapatkan sinyal yang kuat.
Untuk mencarikan solusi yang dialami masyarakat itu, saya berusaha membuat alat berupa antena penangkap sinyal 4G, dengan menggunakan peralatan dapur, seperti kuali masak berbahan aluminium,” ungkap Ade Nofrianto.
Dia mengakui secara jujur, alat temuannya itu lahir berawal dari keprihatinannya melihat kondisi istrinya, Nola Elfina (34) yang harus pergi ke tempat-tempat yang memiliki sarana internet untuk mempromosikan usahanya secara online.
“Memang, awalnya untuk kepentingan pribadi dan juga untuk membantu pengiriman laporan ke Mapolres. Apalagi, juga melihat kondisi pelajar yang mesti antrean untuk mendapatkan akses internet, selama pandemi Covid-19 ini,” beber Ade Nofrianto.
Dikatakannya, awal rangkaian bahan penangkap sinyal 4G tersebut adalah barang bekas aluminium antena UHF dan ditambah dengan rangkaian gulungan tembaga yang dipasang di atas tiang.
Untuk bisa mulai merakit perangkat tersebut, Bripka Ade Nofrianto mengaku butuh penelitian selama lebih kurang 40 hari.
“Sayangnya, rangkaian tersebut belum membuahkan hasil sama sekali. Beberapa video yang ditontonnya melalui aplikasi juga tidak banyak membantu.
Akhirnya, salah seorang teman menyarankan untuk mempelajari salah satu buku, yakni, hukum frekuensi atau gelombang karangan Heinrich Rudolf Hertz seorang fisikawan Jerman yang namanya diabadikan dalam satuan frekuensi hertz,” kata Ade Nofrianto.
Setelah membaca buku tersebut, kata dia menambahkan, dirinya semakin penasaran dan tertantang. “Bahkan, keseharian saya, selain piket, saya habiskan di gudang. Bahkan, saking kesalnya, istri sempat menyuruh saya tidur di gudang, karena sibuk di gudang terus. Tapi, setelah mulai berhasil mendapatkan sinyal 4G, baru ada semangat lagi,” ungkap pria kelahiran Talang, 19 Juli 1982 tersebut.
Alat penangkap sinyal 4G ciptaannya tersebut ujar Bripka Ade, tetap bergantung kepada tower yang memiliki sinyal 4G.
Dia mengatakan, untuk wilayah Sioban, ada dua tower yang bisa diambil frekuensinya, yakni tower Desa Matobe dan tower 4G Desa Nemnemleleu.
Dikatakannya Ade, untuk bisa mengambil frekuensi gelombang sinyal maksimal jarak tower dengan jarak tarik lurus 3 kilometer. Apa bila lebih dari jarak itu kata Ade menambahkan, maka sinyal tidak akan cukup optimal.
Berkat inovasi Bripka Ade Nofrianto itu, kini sambungnya hasil karyanya itu tercatat sudah mencapai 80 rumah atau keluarga di Sioban menggunakan hasil karya tersebut.
Bripka Ade Nofrianto mengaku, untuk karyanya tersebut dirinya tidak memasang tarif apa pun kepada masyarakat.
Sebab, karyanya tersebut, memang semula tidak ada niatnya untuk dikomersikan. Apa yang dilakukannya, hanya berdasarkan azas manfaat.
“Sesuai pesan orang tua saya. Belum berarti kita hidup, kalau belum bisa memberikan manfaat untuk orang banyak. Kalau masyarakat sudah merasakan manfaat dari yang kita perbuat itu sudah cukup. Biarlah, Tuhan yang membalasnya,” ungkap bintara lulusan tahun 2002 tersebut. (Firman Sikumbang)
0 Comments